Senin, 03 April 2017

WISATA BATU DUA


Bagi yang memiliki hobi olahraga dirgantara, arena Batu Dua merupakan tempat yang bagus untuk dikunjungi. Arena ini lebih menantang dibandingkan dengan lokasi Kampung Toga yang sebelumnya sering digunakan sebagai tempat olahraga paralayang. Walau tempatnya lebih jauh dari kota Sumedang, namun menilik lokasinya sangat bagus untuk dijadikan tempat olahraga dirgantara seperti paralayang. Di sini pencinta olahraga dirgantara bisa melayang di udara sejauh 45 km dengan durasi sampai tiga jam.
Batu Dua merupakan salah satu lereng bukit yang ada di kawasan Gunung Lingga Desa Cimarga Kecamatan Cisitu. Wilayah ini memiliki ketinggian 930 meter di atas permukaan laut, dan menyajikan hamparan pemandangan alam yang mempesona.

Salah satu keunggulan kawasan Batu Dua ini adalah akses yang mudah dijangkau utamanya dengan menggunakan kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Jadi, peminat yang ingin berkunjung ke Batu Dua tidak perlu repot harus berjalan kaki hanya untuk mencapai lokasinya. Jaraknya juga cukup dekat dengan jalan raya Sumedang -  Wado, sekitar 4 km. Kalau dari kota Sumedang jaraknya sekitar 25 km.
Adanya panas kawasan dan hembusan angin di sekitar kawasan Batu Dua sangat mendukung olahraga paralayang ini. Panas kawasan bisa menerbangkan paralayang lebih tinggi lagi, lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Sehingga bisa terbang lebih lama. Hembusan angin membuatnya bisa melakukan manuver serta bisa mencapai berbagai tempat pendaratan yang tersedia.
Areal pendaratan sendiri bisa memilih, dan kebanyakan merupakan areal pesawahan yang terhampar di bawahnya.
klik disini : sumber
WISATA KAMPUNG TOGA


Kawasan wisata alam ini dari dulu terkenal dengan keindahan alam dan tempat olahraga Paralayang. Bahkan, untuk PON XIX nanti, Kampung Toga menjadi venue untuk olahraga dirgantara tersebut. Berada di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan air laut, Bukit Toga juga biasa digunakan para pilot gantole yang berlatih untuk menambah jam terbang. Bagi Anda yang senang mengabadikan keindahan alam dengan drone, kayaknya pengambilan gambar di sini pun layak dicoba.

Jika tidak digunakan untuk event, bukit di Kampung Toga, Sumedang tersebut biasa menjadi destinasi wisata, baik wisatawan lokal Sumedang maupun dari luar kota Sumedang. Tempat ini memang menyajikan keindahan alam ala pegunungan yang menarik banyak wisatawan sejak dulu. Pada musim liburan sekolah, setelah Lebaran, atau tahun baru tempat ini biasa ramai dikunjungi wisatawan. Kawasan wisata ini pun kini ramai dikunjungi mereka yang hobi selfie ataupun para riders yang sengaja touring ke sini.
Rute ke Tempat Wisata Kampung Toga
Selain menyajikan keindahan alam, tempat wisata ini araknya tidak terlalu jauh dari pusat kota Sumedang. Jaraknya dari pusat kota sekitar 2 km arah selatan. Jika keluar tol Cileunyi ambil arah Jatinangor - Tanjungsari - Cadas Pangeran - Bunderan Polres Sumedang - Belok kanan ke arah Kompleks Makam Gunung Puyuh. Lokasi wisata Kampung Toga sangat cocok bagi Anda yang ingin menghabiskan liburan bersama keluarga. Anda dan keluarga bisa menyewa villa-villa  dan melakukan aktivitas wisata di alam terbuka.

Jalur tempat wisata ini masih searah dengan kompleks pemakaman leluhur Sumedang, yakni Gunung Puyuh. Di pemakaman Gunung Puyuh salah satunya terdapat makam pahlawan wanita nasional, Cut Nyak Dhien. Lokasi makam wanita pejuang asal Aceh tersebut berada di paling bawah bukit dekat persawahan. Dimana makamnya diurus dengan baik dengan adanya kuncen makam, mushola, dan tempat istirahat para peziarah.



Jadi, bagi Anda yang membawa anak-anak, bisa sekalian menziarahi makam pahlawan nasional ini untuk membangkitkan semangat nasionalisme anak-anak. Di area pemakaman ini pun bersemayam inohong-inohong asal Sumedang, salah satunya seniman Sunda Kang Ibing Kusmayatna.

Fasilitas di Tempat Wisata Kampung Toga
Kampung Toga berada di perbukita dengan mengusung konsep kampung wisata terpadu. Beberapa fasilita suntuk wisatawan yang disediakan di sini antara lain:
1. Villa-villa yang bisa disewa dengan tarif dari 300 ribuan hingga jutaan (bergantung kapasitas).
2. Kolam renang untuk dewasa dan anak-anak. Kolam renang  terdiri dari beberapa kolam renang yang dibangun dalam lahan bertrap-trap di tiap bukit. Tiket masuk pun terbilang murah hanya Rp15.000.
3. Tempat makan, tersedia aneka makanan dan minuman khas Sunda yang disajikan di saung lesehan bernuansa alam terbuka
4. Ruang pertemuan tertutup untuk meeting dan ruang terbuka untuk gathering.
5. Fasilitas outbond, di antaranya ada olahraga dirgantara paralayang dan gantole.
6. Wisata alam Surug Sabuk, Curug Haurlawang, Benteng Belanda Pasirlaja, hingga Benteng Belanda Pasirkolecer. Dari atas puncak bukit Toga, pengunjung bisa melihat hamparan persawahan, perkebunan, dan dari sini kita bisa melihat pemandangan kota Sumedang. View keindahan alam siang dan malam hari sangat indah dilihat dari puncak bukit.
7. Bagi yang senang memancing bisa naik ke puncak bukit Toga. Di sini, Anda bisa memancing bersama keluarga di atas perahu. Danau buatan yang ada di sini dikelilingi kebun buah-buahan, taman tanaman obat keluarga (Toga).

klik disini : sumber

Minggu, 02 April 2017

GUNUNG TAMPOMAS
Puncak Sumedang


Lokasi Jawa Barat, Indonesia
Koordinat 6,77°LS 107,95°BT
Geologi
Jenis Stratovolcano

Tampomas adalah sebuah gunung berapi yang terletak di Jawa Barat, tepatnya sebelah utara kota Sumedang (6,77°LS 107,95°BT). Stratovolcano dengan ketinggian 1684 meter ini juga memiliki sumber air panas yang keluar di daerah sekitar kaki gunung. Gunung Tampomas termasuk dalam area Taman Wisata Alam Gunung Tampomas

Letak Geografis

Gunung Tampomas berada di utara wilayah Kabupaten Sumedang. Secara administratif, kawasan Tampomas berada di tiga kecamatan, yaitu Buahdua, Conggeang, Paseh, Cimalaka dan Tanjungkerta. Luas area Taman Wisata Alam Gunung Tampomas adalah 1.250 hektar.

Kawasan Hutan Gunung Tampomas termasuk dalam tipe hutan hujan pegunungan dengan keanekaragaman flora dan fauna. Tumbuhan yang mendominasi kawan ini adalah jamuju, rasamala dan saninten. Sedang jenis hewan yang liar dan banyak ditemui adalah kancil, lutung, babi hutan dan beberapa jenis burung.

Puncak Tampomas
Hutan Pinus di Gunung Tampomas

Puncak Gunung Tampomas (penduduk setempat menyebutnya Sangiang Taraje) adalah sebuah lahan luas setinggi 1684 mdpl seluas 1 hektar yang berada di ujung paling atas Gunung Tampomas. Lokasi ini memiliki estetika tinggi karena dari tempat ini wisatawan dapat menikmati pemandangan indah ke arah Kota Sumedang dan sekitarnya. Adanya lubang-lubang kawah dan batu-batu besar berwarna hitam manambah kekayaan imajinasi bagi yang melihatnya.

Sekitar 200 meter ke arah utara dari puncak Sangiang Taraje, terdapat makam keramat yang dikenal dengan nama Pasarean. Menurut kisah, tempat tersebut adalah petilasan dari Prabu Siliwangi dan Dalam Samaji pada masa kerajaan Pajajaran Lama.

Untuk mencapai kawasan puncak Tampomas, ada beberapa jalur (pos) pendakian. Diantara jalur yang sering digunakan oleh pendaki adalah jalur Narimbang, Cibeureum dan Buahdua. Di pos pendakian Narimbang terdapat mata air dan curug Ciputrawangi yang terkenal.



LEGENDA GUNUNG TAMPOMAS SUMEDANG

Gunung Tampomas adalah salah satu gunung di Jawa Barat yang terletak di Kabupaten Sumedang. Taman Wisata Alam Gunung Tampomas masuk Kecamatan Buahdua, Congeang, Sidang kerta dan Cibereum Kabupaten Sumedang. Keadaan Taman Wisata ini bergunung-gunung dengan ketinggian antara 625-1.685 meter di atas permukaan laut dan seluas 1 Ha. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di gunung Tampomas temasuk iklim tipe B dengan curah hujan rata-rata 3.158 mm per tahun. Puncak Gunung Tampomas disebut Sangiang Taraje. Lokasi ini sangatlah keren karena dari puncak kita bisa melihat pemandangan alam yang indah ke arah Sumedang dan sekitarnya. Ada juga lubang-lubang bekas kawah dan batu-batu besar berwarna hitam yang menambah keindahan lokasi ini bagi yang bisa melihatnya. Badan gunung ini dikellingi oleh 5 kecamatan (Cimalaka, Paseh, Conggeang, Buahdua dan Tanjungkerta). Masing-masing kecamatan memiliki air terjun dan beberapa mata air. Keistimewaan dari wilayah Sumedang ini adalah mempunyai sebuah gunung yang nunggal jadi tidak heran kalau Gunung Tampomas itu sangat dikeramatkan. Asal nama Sumedang adalah Su -Medang-Larang. Su berarti bagus, sae, elok. Medang berarti wilayah yang bersinar, tempat yang bercahaya, terang, caang, madangan. Larang berarti mahal, tiada bandingannya.

Gunung tersebut merupakan gunung yang paling tinggi di bumi Sumedang, menyimpan mitos yang belum terungkap. Kisah yang telah diwariskan secara turun temurun menuturkan Gunung tersebut ratusan tahun dipandang sebagai tempat kekuatan gaib. Orang pertama yang menginjakan kaki di gunung tersebut adalah Prabu Sokawayana (putra Prabu Guru Haji Adji Putih) yang kedua, atau adik kandung Prabu Tadjimalela. Beliau mengadakan perjalanan keliling ke daratan tinggi tersebut atas perintah ayahnya agar memperluas wilayah pemukiman di sekitar kaki gunung tersebut. Kemudian mendirikan Medang Kahiyangan artinya tempat ngahiyang atau tilem. Dalam perkembangannya tempat tersebut disucikan menjadi tempat keramat yang memiliki kekuatan gaib. Bagi seseorang yang menyempurnakan ilmu disitu akan mampu ngahiyang atau hilang tanpa bekas.

Memasuki abad ke-XVIII, gunung tersebut akan meletus bahkan penduduk di sekitarnya diguncang gempa. Pangeran Sumedang datang ke gunung tersebut untuk melakukan deteksi kebatinan, dengan menancapkan keris pusaka Kujang Emas ditengah-tengah puncaknya. Kemudian setelah itu dari perut gunung mengeluarkan aip panas yang mengalir ke kawasan Conggeang dan sekitarnya.Sejak itu pula gunung tersebut dikenal dengan Gunung Tampomas, diambil dari perkataan “tanpa kujang emas) akan meletus.

Semula gunung Tampomas bernama gunung Gede dan sebelumnya bernama gunung Geulis. Namun orang Indramayu yang mengkeramatkan gunung tersebut menyebutnya dengan Gunung Tampomas. Tampomas berasal dari kata Tampo Emas yang berarti yang menerima emas (berupa senjata pustaka yang terbuat dari logam mas yang disebut dengan Pendok Mas yang disimpan di Puncak gunung dengan cara supranatural agar gunung itu tidak meletus maka alhasih Conggeang sebagai buangan gas dan air panas dari dalam perut gunung). Menurut sejarah gunung Tampomas dulunya sering meletus dan berakibat masyarakat sekitar gunung menderita.

Gunung Tampomas dihuni oleh pelbagai jenis fauna seperti trenggiling, owa yang mukanya berwarna hitam, lutung dan monyet biasa. Ada juga Harimau Lodaya, Harimau Kumbang, Harimau Tutul, Meong Congkok, Landak, berbagai jenis ular dan kaljengking.Adapun flora yang ikut menghuni gunung ini seperti Jamuju, Rasamala, dan Saninten.

Dongeng Tampomas.

Dengan melihat Gunung Tampomas yang menjadi salah satu saksi bisu perjalanan sejarah Sumedang pada khususnya dan tanah Sunda pada umumnya, kabarnya bagi sebagian orang akan terasa suasana mistis yang cukup kuat, oleh karenanya Gunung ini banyak dijadikan tempat bertapa, semedi, atau ngelmu, karena kabarnya dulu Prabu Siliwangi juga pernah bertapa di gunung ini.

Dilihat dari tempat-tempat tertentu pun suasana mistik bisa terasa, seperti halnya tidak tahu kenapa ketika mengambil foto atau gambar ini dari kawasan hutan di Wargaluyu ini saya merasakan hawa mistik yang lumayan kuat , ah terlepas dari itu semua saya jadi ingat sebuah cerita rakyat tentang Gunung Tampomas dengan judul Sasakala Gunung Tampomas, yang menceritakan asal muasal nama Gunung Tampomas. Sasakala sendiri artinya adalah mitos atau dongeng, ..berkaitan dengan Sasakala Gunung Tampomas sendiri kurang lebih begini ceritanya :

Sasakala Gunung Tampomas

Diceritakan, Gunung Gede yang ada di Sumedang mengeluarkan suara yang menyeramkan.

Suaranya bergemuruh, dari puncaknya keluar asap bercampur debu yang menyala-nyala, dan sepertinya gunung ini akan meletus. Rakyat Sumedang ketika itu sangat-sangat kaget dan ketakutan melihatnya dan berfikir bagaimana jadinya jika Gunung Gede itu benar-benar meletus ?

Tidak diketahui siapa Bupati yang menjabat waktu itu, tapi yang pasti bupati tersebut sangat sayang dan welas asih kepada rakyatnya serta bijaksana. Walau belum ada rakyat yang melapor, sebenarnya beliau telah mengetahui bagaimana kedaan rakyatnya yang diliputi kegelisahan saat itu, dan beliau tidak berhenti memutar otak dan berpikir keras agar bisa menyelamatkan rakyatnya.

Didorong oleh rasa sayang kepada rakyatnya itu, beliau lalu menyepi di satu kamar, bersemedi memohon petunjuk dari paradewa, siapa tahu dengan begitu beliau bisa menghadap ke Yang Tunggal, diberi petunjuk untuk menyelamatkan rakyatnya.

Dengan kesungguhannya berdoa, Alhamdulillah, maksud Kanjeng Bupati kesampaian. Pada suatu malam, Kanjeng Bupati bermimpi didatangi seorang kakek, kakek-kakek tersebut memakai pakaian serba putih dan berbicara dengan sangat jelas "Cucuku yang tampan dan gagah, Eyang sudah tahu bagaimana kebingungan serta kegelisahanmu, Eyang ingin membantu agar rakyat cucuku bisa lepas dari ketakutan dan kekhawatirannya. Gunung Gede harus ditumbal oleh keris pusaka kepunyaan Cucuku yang terbuat dari emas. Dan Eyang titip, cucu jangan merasa sayang dan menyesal (telah menumbalkan keris emas), nah begitu saja dari Eyang".

Setelah berkata demikian, kakek tersebut langsung menghilang dari mimpi Kanjeng Bupati...setelah diterimanya ilapat atau wejangan tersebut, Kanjeng Bupati bergegas keluar dari kamar dan membawa keris pusaka miliknya.

Beliau langsung berangkat menuju ke puncak Gunung Gede, beliau sigap dan terlihat terburu-buru karena takut Gunung Gede keburu meletus...walaupun rakyatnya saat itu sedang dilanda kebingungan, tapi ketika menyaksikan Bupatinya berangkat ke puncak gunung mereka tidak berdiam diri, mereka tidak tega Bupati pergi seorang diri...dan akhirnya mereka pun meyertai kepergian Bupati ke puncak Gunung Gede.

Setibanya di puncak Gunung Gede, Kanjeng Bupati tidak berlama-lama...keris emas yang digenggamnya langsung dilemparkannya ke kawah Gunung Gede, rakyat yang dari tadi mengikutinya hanya bisa melongo dan tidak percaya, karena mereka tahu keris tersebut adalah keris kesayangan Kanjeng Bupati. Ketika keris tersebut sudah berada dalam kawah Gunung Gede, seketika itu juga suara yang tadinya menggelegar angker menakutkan langsung hilang seketika. Bumi yang bergetar seolah gempapun langsung hilang tak terasa lagi getarannya. Seketika rakyat langsung bersorak bersuka cita dan langsung sujud kepada Kanjeng Bupati sebagai tanda terima kasih dan semua berikrar akan setia kepadanya, ikrar tersebut diterima oleh Bupati dengan haru dan sikap rendah hati...hatinya gembira karena bisa menghindarkan rakyatnya dari bencana.

Semenjak saat itu, Gunung Gede tersebut disebut dengan nama Gunung Tampa Emas (menerima emas) oleh penduduk sekitar, dan seterusnya pengucapannya berubah jadi "Gunung Tampomas".

Begitulah dongengnya sob tentang asal muasal nama Gunung Tampomas, mungkin sobat-sobat juga pernah ada yang membaca tentang Sasakala Gunung Tampomas ini tapi berlainan versi ?? memang cerita tentang Sasakala Gunung Tampomas yang berkembang di masayarakat Sumedang kabarnya ada beberapa versi, ada juga kisah yang titik ceritanya di daerah Cipanas Buahdua, dan dengan nama Bupati yang diketahui...tapi alur ceritanya kurang lebih sama dengan diatas, menceritakan tentang Gunung Gede yang akan meletus, dan kebetulan cerita di atas lah yang saya sedikit hapal dan saya coba ceritakan kembali pada sobat-sobat semuanya...semoga bermanfaat ya...

Peninggalan Sejarah di Puncak Gunung Tampomas

Gunung Tampomas dengan kekuatan fenomena alamnya memang begitu indah,unik, penuh misteri dan mampu menggoda jiwa petualang bagi para petualang alam bebas untuk mendakinya. Apalagi Gunung Tampomas di lain sisi selalu di kaitkan dengan hal-hal atau macam-macam yang sedikit agak berbau Magis. Benarkah ?
Gunung Tampomas yang berdiri gagah dan indah yang terlihat di sekitaran kota Sumedang ini memang tidak setenar gunung-gunung lainnya di Indonesia khususnya di pulau Jawa, tetapi Gunung Tampomas mampu menghadirkan pesona alam yang indah dan memberikan kepuassan bagi para pendaki yang berpetualang di alam bebasnya, dan Gunung Tampomas juga melahirkan sejumlah cerita-cerita yang sarat akan sejarah.
Diantaranya ada peninggalan Tapak (bekas) kakinya Prabu Siliwangi Raja Pajajaran yang terkenal akan kegagahan dan kesaktian-nya, dan juga makam Ranggahadi dan Istrinya yang menurut cerita mereka itu merupakan kerabat dari Prabu Siliwangi. Dan di kawasan Gunung Tampomas di temukan juga Situs peninggalan sejarah masa lalu, diantaranya seperti Batu bergambar, Pecahan Arca, Pagar Batu, Piramida Kecil, dan Patung Ganesha.
Itu semua di temukan oleh team peneliti dari Yayasan Padaringan. Situs Purbakala tersebut di temukan di timur lereng Gunung Tampomas di sekitaran Ciputrawangi, Leuweung Candi, Puncak Narimbang, Batu Lawang, Sawah Kalapa, Puncak Manik dan Blok Cibenteng. Batu Kasur yang konon merupakan tempat tidurnya Prabu Siliwangi dan Batu Padaringan yang konon di pakai tempat persembahan atau tempat musyawarah, ini membuktikan bahwa kawasan Gunung Tampomas kaya akan keindahan alam, cagar budaya serta sejarah dari keraja'an Pajajaran di masa ke-emassan-nya pada masa lalu di tataran sunda.
Batu Kasur / Pasare'an (tempat tidur)
yang konon tempat atau sempat di pakai
tempat istirahatnya / tidurnya Sang Raja
yang gagah perkasa yakni Prabu Siliwangi.
Satu di antara tempat sejarah yang mungkin
membuktikan cerita tentang masa lalu.

Salah Satu Route Pendakian



Rute Pendakian kami kali ini melalui dusun Narimbang Kec.Congeang Kab.Sumedang.
Mentari pagi masih hangat menemani kami, geliat kehidupan dusun Narimbang mulai terasa denyut-nya, satu persatu penduduk mulai beraktivitas memulai harinya dengan pergi ke Ladang dan Kebun-nya sepanjang jalan di sekitaran dusun Narimbang terlihat kebun-kebun salak, kolam-kolam ikan yang airnya berasal dari Gunung Tampomas. Untuk mencapai Gunung Tampomas terdapat beberapa rute pendakian bisa melalui Desa Cibeureum, Desa Cimalaka, atau Buah Dua.

Sedangkan jalur Desa Narimbang yang kami lalui sekarang merupakan jalur yang sering digunakan oleh para pendaki untuk mencapai puncak Gunung Tampomas. Nyanyian kami di sepanjang jalan TAMPOMAS NU MATAK WA'AS.
Pukul 09-00 wib kami mulai melakukan pendakian, dan belum apa-apa kami sudah di hadapkan dengan tanjakan-tanjakan yang cukup menguras tenaga, namun berkat keindahan dan kesejukkan alamnya yang disuguhkannya pada kami, itu semua dapat menghilangkan rasa letih dan lelah justru sebaliknya malah menjadi lebih semangat dan khus'syu untuk mencapai puncak berkat keindahan alam-nya.

Satu jam lebih kami tiba di pertiga'an, yaitu pertemuan rute dari arah Cibeureum, Narimbang, dan dari arah Desa Buah Dua, dari arah Desa Narimbang terus lurus menuju ke arah puncak Tampomas, karna yang berbelok ke arah kanan akan menuju ke puncak Narimbang. Sejenak kami beristirahat untuk sekedar menghapus rasa dahaga kami dan menghisap sebatang rokok sambil memandangi tanjakan yang akan kami lalui yang mungkin akan sedikit menghadang laju pendakian kami. Setelah kurang lebih seperempat jam kamipun memulai perjalanan kami, sedikit repot karna jalur yang kami lalui selain jalur yang menanjak juga tanahnya yang licin karna bercampur dengan batu-batu kecil, tapi itu semua malah membikin kami malah bertambah senang, betapa tidak di antara sahabat-sahabatku ada yang tergelincir kecil, ada yang sempat tertindih oleh sahabat yang di atasnya karna sedikit terpeleset , namun Edan, itu semua kami terima dengan tertawa-tawa dan tetap saling membantu, mungkin perkara atau hal yang seperti inilah yang bisa memperkuat / mempertahankan persaudara'an kami di setiap petualangan, justru di dalam setiap pendakian-petualangan kami melihat dan merasakan lebih besar merasa bahwa kami ini adalah satu dan satu adalah kami.

Dengan berat di punggung akhirnya kamipun sampai di sebuah batu besar, penduduk setempat yang tinggal di kaki Gunung Tampomas menyebutnya dengan BATU KUKUS. Karna menurut cerita penduduk sekitar Batu ini sering di gunakan oleh peziarah untuk bersemedi / ngalap berkah sebelum melanjutkan ziarah-nya ke tempat yang lebih tinggi, yaitu ke Patilasan Prabu Siliwangi dan Makam-makam yang berada tepat di puncak Gunung Tampomas.
Kami beristirahat di Batu Kukus sambil meregangkan kaki yang mulai terasa kaku dan pegal. Sekitar 30 menit kami beristirahat dengan di temani kesejukkan udara serta kesegar ran hembusan angin yang datang dari lembah-lembah di sekitar hutan Gunung Tampomas.
Setelah fisik kami terasa segar kembali kamipun siap untuk melanjutkan pendakian, kali ini kami dihadapkan dengan rute / trex's yang cukup menanjak dan menantang, apalagi di depan sudah siap menyambut kami yaitu Tanjakan Taraje, yang kemiringan-nya sekitar 80 derajat, di perlukan extra kehati- hatian dan tenaga extra karena jalanan terjal dan berbahaya. Batu Kukus

Selanjutnya kami harus melewati beberapa rute pendakian lagi sebelum mencapai puncak Gunung Tampomas, seperti melewati Tanjakan Taraje dan Sanghiyang Tikoro, Batu Lawang atau sanghiyang lawang, dan terakhir puncak Gunung Tampomas.

Hutan Gunung Tampomas yang bervariatif serta keharmonis- sannya, membuat perjalanan pendakian kami terasa begitu sangat menyenangkan. Sesekali suara binatang penghuni hutan saling bersahutan satu sama lain seakan-akan mengucapkan selamat datang dan salam rimba / salam persahabatan. Alhamdulillah dengan semangat dan mental yang kuat untuk mencapai puncak Gunung Tampomas, kami tiba di sebuah batu yang cukup besar ukurannya, batu ini di sebut batu Lawang, sebutan itu muncul karena persis di tengah-tengah batu itu seperti ada pintunya, oleh karena itu masyarakat sekitar menyebutnya dengan batu Lawang (pintu) dan Batu Lawang inipun sering di kunjungi oleh Batu Lawang para peziarah-peziarah.

terutama para peziarah yang datang dari sekitaran Sumedang, Cirebon, Indramayu, Majalengka dan sebagainya.

Dengan perjuangan yang keras dan banyak menguras tenaga dan cukup melelahkan sekitar 500 meter lagi kami akan mencapai puncak Gunung Tampomas, kamipun terus berjalan walau harus menahan berat beban di pundak, akhirnya kami sampai juga di Puncak Gunung Tampomas dengan cuaca yang sangat bersahabat, begitu cerah dan sungguh sungguh indah dan sujud syukurpun kami persembahkan pada-Mu ya Alloh atas ijin-Mu dalam keberhasilan kami mencapai Puncak Gunung Tampomas. Naik turun perbukitan, menjelajahi hutan-Mu, dan berpetualang di rimba-Mu sungguh pengalaman yang sangat mengasyikan dan memuaskan dan juga begitu indah dan menyenangkan ketika kami mencapai puncak-Mu. Segala lelah pegal dan peluh semuanya sirna dengan suguhan-Mu di puncak Tampomas sebagai hadiah-Mu sekali lagi sujud syukur dan rasa terima kasih kami panjatkan kepada keAgungan-Mu dan kamipun merasa lebih dekat dengan-Mu wahai sang Pencipta alam yang sungguh indah dan mempesona ini Amiin Amiin terima kasih Alloh dan tampak dari kejauhan Gunung Ciremai yang merupakan Gunung tertinggi di Jawa Barat berdiri tegap / berdiri gagah melambai-lambai seakan-akan mengucapkan selamat atas keberhasilan dan kesuksesan kami mencapai Puncak Tampomas .

Pengalaman yang akan sulit kami lupakan dan pengalaman yang sungguh sangat menyenangkan dan tak lupa terima kasih sebesar-besarnya untuk sahabat saya. kalian memang telah membuktikan bahwa kita adalah satu dan satu adalah kita.

WISATA ALAM GUNUNG KARANG 



Gunung Karang merupakan sebuah gunung yang berposisi di bawah Gunung Tampomas sehingga bisa disebut sebagai anak Gunung Tampomas. Tepatnya di sebelah tenggara lereng Gunung Tampomas dan menjadi bagian dari Gunung Tampomas. Gunung Karang ini juga ada yang menyebutnya dengan sebutan Pasir Bilik dan termasuk wilayah Desa Cibeureum Wetan Kecamatan Cimalaka.

Dengan lokasinya yang berada di bagian bawah puncak Gunung Tampomas, Gunung Karang menjadi tujuan sampingan bagi yang ingin mendaki Gunung Tampomas. Apalagi bagi pendaki yang menggunakan jalur selatan dari wilayah Cibeureum, sebelum mendaki ke puncak Gunung Tampomas bisa melewati Gunung Karang dahulu. Untuk mendaki ke Gunung Karang ini, sebagaimana disebutkan oleh Atep Wendi Rahayu Mobile Blog tidaklah terlalu sulit. Setelah melewati galian pasir (menggunakan jalur dari Cibeureum), akan sampai di perkebunan masyarakat dan dilanjutkan dengan memasuki kawasan hutan pinus. Setelah itu akan ada jalan setapak yang mengarah ke kiri, dari sini ikuti saja jalur ini sampai menemui pohon yang sangat besar (Pos 1 gerbang Gunung Karang). Jalan mulai menanjak yang disebut juga dnegan Tanjakan Hoream. Setelah tanjakan ada jalan yang mendatar (Pos 2). Dari sini ambil jalan yang ke kanan melewati jalan bebatuan yang menanjak. Habis tanjakan akan menemukan Pos 3. Dari tempat ini akan mulai terlihat puncak Gunung Karang. Dilanjut dengan melewati jalur terakhir menuju ke puncak Gunung Karang. Di jalur terakhir ini bisa sekalian melihat Gunung Tampomas yang menjulang tinggi dan pemandangan kota Sumedang yang indah. Sesampainya di puncak Gunung Karang, akan terlihat tebing karang yang menantang. Berhati-hatilah karena batunya rapuh.

Yang menjadi daya tarik Gunung Karang ini adalah adanya batu berukuran besar yang berukuran sekitar 20 s.d. 27 meter kubik. Batu paling besar terdapat di daerah puncak Gunung Karang. Ada dua buah batu yang sudah ada jalur boulder-nya yang biasa digunakan sebagai tempat boulder. Batu ini menjadi salah satu lokasi program sejuta pemanjat yang digagas oleh seorang pemanjat profesional Teddy Ixdiana. Bersama tim dari Sumedang, Teddy membuat jalur boulder di batu Gunung Karang dan mengajak sejuta pemanjat lain untuk mencoba jalur ini.
Kemudian yang lebih menarik di Gunung Karang ini karena ada banyak binatang asli Gunung Tampomas seperti monyet, lutung, burung pancawarna, dan burung anis. Ditambah dengan beberapa jenis binatang mamalia dan reptil lainnya. Di waktu pagi hari, dari puncak Gunung Karang ini bisa menyaksikan matahari terbit di dekat Gunung Ciremai.
Jadi, bagi yang menyukai dunia pendakian, tidak ada salahnya untuk mencoba mendaki Gunung Karang ini. Atas bagi yang mau mendaki Gunung Tampomas, tidak ada salahnya juga jika singgah dulu di Gunung Karang ini. Mau mencoba panjat tebing? Bisa juga di Gunung Karang ini.
klik disini : sumber


SUMEDANG KOTA ALAM


Kabupaten Sumedang (Sunda Latin: Kab. Sumedang) adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa BaratIndonesia. Ibukotanya adalah kecamatan Sumedang Utara, Sumedang,[1] sekitar 45 km Timur Laut Kota Bandung. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di Utara, Kabupaten Majalengka di Timur, Kabupaten Garut di Selatan, Kabupaten Bandung di Barat Daya, serta Kabupaten Subang di Barat.
Kabupaten Sumedang terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Sumedang, ibukota kabupaten ini, terletak sekitar 45 km dari Kota Bandung. Kota ini meliputi kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Sumedang dilintasi jalur utama Bandung-Cirebon.
Bagian Barat Daya wilayah Kabupaten Sumedang merupakan kawasan perkembangan Kota BandungIPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), sebelumnya bernama STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri), UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), ITB (Institut Tekhnologi Bandung), serta Universitas Padjajaran berlokasi di Kecamatan Jatinangor.
Sebagian besar wilayah Sumedang adalah pegunungan, kecuali di sebagian kecil wilayah Utara berupa dataran rendah. Gunung Tampomas (1.684 m), berada di Utara Sumedang.

Pada mulanya Kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Raja Galuh. Didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pakuan PajajaranBogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama, yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke-12. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Kerajaan Sumedang Larang (Sumedang berasal dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingannya).
Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun sekitar tahun 1578, dan dikenal luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Selatan sampai dengan Samudera Hindia, wilayah Utara sampai Laut Jawa, wilayah Barat sampai dengan Cisadane, dan wilayah Timur sampai dengan Kali Pamali kabupaten Brebes
Kerajaan ini kemudian menjadi vazal Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya berada di bawah kendali Kesultanan Mataram, pada masa Sultan Agung. Pada masa Mataram inilah teknik persawahan diperkenalkan di tanah Pasundan dan menjadi awal istilah "gudang beras" untuk daerah antara Indramayu hingga Karawang/Bekasi. Dalam strategi penyerangan Sultan Agung ke Batavia wilayah Sumedang dijadikan wilayah penyedia logistik pangan. Selain itu, aksara Hanacaraka juga diperkenalkan di wilayah Pasundan pada masa ini, dan dikenal sebagai Cacarakan. Pusat kota Sumedang juga dirancang pada masa ini, mengikuti pola dasar kota-kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung dibangun pada abad ke-19, Sumedang adalah salah satu pusat budaya Pasundan yang penting.
Ketika Pakubuwono I harus memberikan konsesi kepada VOC, wilayah kekuasaan Sumedang diberikan kepada VOC, yang kemudian dipecah-pecah, sehingga wilayah Sumedang menjadi seperti yang sekarang ini.

Pemandangan dan air terjun di Sumedang (litografi berdasarkan lukisan oleh Abraham Salm, 1865-1872)

Pangeran Aria Soeriaatmadja (bupati Sumedang pada tahun 1882 – 1919), juga dikenal dengan julukan "Pangeran Mekkah", karena wafat di Makkah
Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa, yaitu terdapat Alun-alun sebagai pusat yang dikelilingi Mesjid Agung, rumah penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun terdapat bangunan yang bernama Lingga, tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari Negeri Belanda dan dipersembahkan untuk Pangeran Aria Suria Atmaja atas jasa-jasanya dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal 22 Juli 1922 oleh Gubernur Jenderal Mr. Dr. Dirk Fock Sampai saat ini Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang. Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, diciptakan oleh R. Maharmartanagara, putra seorang Bupati Bandung Rd. Adipati Aria Martanagara, keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi lambang Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.
Hal-hal yang terkandung pada logo Lingga :
  1. Perisai : Melambangkan jiwa ksatria utama, percaya kepada diri sendiri
  2. Sisi Merah : Melambangkan semangat keberanian
  3. Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan pertanian
  4. Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga : Melambangkan bahwa manusia tidak ada yang sempurna
  5. Sinar Matahari : Melambangkan semangat dalam mencapai kemajuan
  6. Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran budi dan kebesaran jiwa
  7. Sinar yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka Sakti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
  8. Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
  9. 19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak Tangga : Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945
  10. Tulisan Insun Medal : Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung arti:
  • Berdasarkan Prabu Tajimalela, seorang tokoh legendaris dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku, Medal : Keluar).
  • Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang) Kedua pengertian ini bersifat mistik.
  • Berdasarkan keterangan Prof. Anwas Adiwilaga, Insun Medal berasal dari kata Su dan Medang
(Su: bagus dan Medang: sejenis kayu yang bagus pada Jati, yaitu huru yang banyak tumbuh di Sumedang dulu), dan pengertian ini bersifat etimologi.
Menurut Bujangga Manik, di dekat Gunung Tampomas terdapat Kerajaan Kahiyangan, yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan Surawisesa.
Belum jelas, adakah hubungan antara Medang Kahiyangan dan Sumedang Larang. Namun pada saat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan, menurut versi lainnya, saat itu sudah terdapat kerajaan yang disebut Sumedang Larang.
Dalam Kropak 410 disbutkab, Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain adalah Prabu Resi Tajimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang disebut Mandala Himbar Buana.
Masih belum jelas pula asal-usulnya tokoh Legendaris leluhur Sumedang ini. Sebab, Tajimalela adalah nama lain dari Panji Romahyang, putra Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura (Rintisan Penelusuran silam sejarah Jawa Barat).
Sumber lain menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja, maupun riwayat yang berdasarkan tradisi lisan yang masih hidup, disebutkan bahwa Prabu Tajimalela adalah putra Prabu Guru Aji Putih, salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sri Baduga Maharaja. Ia melakukan petualangan hingga ke kawasan Timur sekitar pinggiran Sungai Cimanuk.
Prabu Tajimalela masih memiliki sejumlah nama, antara lain: Prabu Resi Agung Cakrabuana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih. Dalam Waruga Jagat yang telah disalin dari huruf Arab ke dalam tulisan latin (1117 H), antara lain dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji Putih."
Kehadiran Prabu Guru Haji Putih melahirkan perubahan-perubahan baru dalam kemasyarakatan, yang telah dirintis sejak abad ke-8 oleh Sanghyang Resi Agung. Secara perlahan dusun-dusun di sekitar pinggiran sungai Cimanuk itu diikat oleh suatu struktur pemerintahan dan kemasyarakatan hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja.
Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tajimalela. Berdasarkan perbandingan generasi dalam Kropak 410 Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340-1350) penguasa di Kawali dan tokoh Suryadewata, ayahanda Batara Gunung Bitung di Majalengka.
Memang belum diperoleh keterangan sumber yang menyebut-nyebut siapa gerangan istri Sang Prabu Resi Tajimalela. Namun, dalam beberapa sumber baik lisan maupun tertulis, dikatakan Prabu Resi Tajimalela mempunyai dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.
Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh putranya bernama Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah Agung yang berkedudukan di Cicanting.
Kisah awal raja ini memang mirip dengan kisah awal Kerajaan Mataram. Menurut versi Babad Tanah Jawi, antara Ki Ageng Sela dengan Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda, lalu ia pergi. Datang Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya. Maka kemudian yang menjadi raja Ki Ageng Pamanahan.
Demikian pula dalam naskah Layang Darmaraja, yang mengisahkan Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan tahta kepemimpinan dari Prabu Resi Tajimalela.
Dikisahkan, pada suatu ketika Prabu Tajimalela memanggil kedua putra kembarnya Lembu Agung dan Gajah Agung. Prabu Tajimalela berkata kepada mereka agar ada di antara salah seorang putranya ini yang bersedia melanjutkan kepemimpinannya.
"Adinda, adindalah kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu Agung kepada adiknya. "Kakanda, sungguh tidak pantas adinda yang masih muda usia, bila harus menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat," jawab Gajah Agung. Setelah di antara kedua putranya, masing-masing saling menunjuk siapa di antara mereka yang pantas menjadi raja, akhirnya Prabu Resi Tajimalela memetik buah kelapa muda lalu disimpannya kelapa tadi serta sebilah pedang.
Mereka berdua disuruh menungguinya. "Adinda, tolong jaga kelapa ini. Kakanda hendak pergi ke jamban dulu," kata Lembu Agung seraya pergi meninggalkan Gajah Agung. Tiba-tiba sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung merasakan haus yang bukan kepalang.
Apa boleh buat, untuk menghilangkan dahaganya, Prabu Gajah Agung kemudian mengupas kelapa itu dan diminumlah airnya. Karenanya, ketika Lembu Agung kembali lagi, Gajah Agung langsung menyampaikan permohonan maaf kepada Lembu Agung karena rasa bersalahnya telah meminum air kelapa yang semestinya dijaganya.
Semula Prabu Gajah Agung menyangka, Prabu Lembu Agung akan memarahinya. Namun ternyata, dengan kebesaran jiwa Prabu Lembu Agung malah berkata: "Adinda, tampaknya suratan takdir telah menentukan, dengan diminumnya air kelapa tadi oleh adinda, sudah barang tentu Adindalah yang sekarang terpilih menjadi raja," ucap Lembu Agung.
Singkat cerita, jadilah Prabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan Prabu Tajimalela, yang kemudian ia meninggalkan tempat menuju daerah di pinggiran Kali Cipeles untuk mendirikan kerajaan yang sekarang disebut Ciguling.
Kemudian ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu Gajah Agung kemudian digantikan oleh putranya, Wirajaya, yang lebih dikenal Sunan Pagulingan. Dalam Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di Cipameungpeuk.
Namun ada pula yang mengisahkan, kedudukan Kerajaan Sumedang Larang pada saat itu berada di Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan. Yang jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang pertama ini masing-masing berkedudukan di tempat yang berbeda-beda. Ini merupakan suatu gejala, bahwa kerajaan tersebut belum permanen yang dapat ditinggali turun temurun oleh para penerus pemegang kekuasaannya. Keadaan tersebut berlangsung sampai beberapa generasi berikutnya.
Putri Sulung Pagulingan bernama Ratu Ratnasih alias Nyi Mas Rajamantri diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena itu, adiknya bernama Martalaya menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa Sumedang yang keempat dengan gelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan oleh putranya bernama Tirtakusumah atau Sunan Patuakan sebagai raja kelima Sumedang Larang. Kemudian, ia digantikan lagi oleh putri sulung bernama Sintawati alias Nyi Mas Patuakan.
Antara Ibu dan anak ini mempunyai gelar yang sama, yaitu Patuakan.
Ratu Sintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga putra Ratu Simbar Kencana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala. Dengan demikian, ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Corenda mempunyai dua permaisuri, yakni Mayangsari putri Langlangbuana dari Kuningandan, Sintawati dari Sumedang. Dari Mayangsari, Sunan Corenda memperoleh putri Bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung.
Berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum Talaga), putra Munding Surya Ageung. Tokoh ini putra Sri Baduga. Sunan Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun 1530 dan masuk Islam.
Dari Sintawati putri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda mempunyai putri bernama Setyasih, yang kemudian menjadi penguasa Sumedang dengan gelar Ratu Pucuk Umum. Ratu Pucuk Umum Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini adalah putra Pangeran Palakaran dari puteri Sindangkasih. Pangeran Pamelekaran putra Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan putra Syekh Datuk Kahfi.
Dengan perkawinan antara Ratu Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529.
Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka, atau kira-kira 21 Oktober 1530 M, tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri.
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 di Keraton Pakungwati diselenggarakan perjamuan "syukuran" untuk merayakan kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan Pangeran Santri.
Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang telah masuk dalam lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati. Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang pertama yang menganut Islam. Ia pula yang membangun Kutamaya sebagai Ibukota baru untuk pemerintahannya.
Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umum alias Ratu Inten Dewata, Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata I ini dikaruniai enam orang anak, yaitu Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun), Kiyai Rangga Haji, Kiyai Demang Watang Walakung, Santowaan Wirakusumah, yang melahirkan keturunan anak-cucu di Pagaden Subang, Santowaan Cikeruh dan Santowaan Awiluar.
Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putra-putri Pangeran Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umum), yang melanjutkan pemerintahan di Sumedang Larang ialah Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun. Menurut Babad, daerah kekuasaan Geusan Ulun dibatasi kali Cipamali di sebelah Timur, Cisadane di sebelah Barat, sedangkan di sebelah Selatan dan Utara dibatasi laut.
Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat disimak dari isi surat Rangga Gempol III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691.
Dalam surat tadi, Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan Kusumahdinata VI) menuntut agar kekuasannya dipulihkan kembali seperti kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol III mengungkapkan bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante dan 18 umbul.
  • Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
  • Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.
  • Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa
Ke-44 daerah di bawah kekuasaan Geusan Ulun meliputi:
  1. Timbanganten
  2. Batulayang
  3. Kahuripan
  4. Tarogong
  5. Curugagung
  6. Ukur
  7. Marunjung
  8. Daerah Ngabei Astramanggala
II. Di Kabupaten Parakanmuncang
  1. Selacau
  2. Daerah Ngabei Cucuk
  3. Manabaya
  4. Kadungora
  5. Kandangwesi (Bungbulang)
  6. Galunggung (Singaparna)
  7. Sindangkasih
  8. Cihaur
  9. Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura
  1. Karang
  2. Parung
  3. Panembong
  4. Batuwangi
  5. Saung Watang (Mangunreja)
  6. Daerah Ngabei Indawangsa di Taraju
  7. Suci
  8. Cipiniha
  9. Mandala
  10. Nagara (Pameungpeuk)
  11. Cidamar
  12. Parakan Tiga
  13. Muara
  14. Cisalak
  15. Sukakerta
Berdasarkan data yang dikirimkan Rangga Gempol III pada masa VOC, maka kekuasaan Prabu Geusan Ulun meliputi SumedangGarutTasikmalaya, dan Bandung. Batas di sebelah Timur adalah Garis Cimanuk - Cilutung ditambah Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum - Cisokan. Batas di sebelah Selatan laut. Namun di sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayah yang telah dikuasai oleh Cirebon.
Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1579-1601) bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Sultan Maulana Yusuf.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga Lante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus menjadi penerus Pajajaran.
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 yang berbunyi: "Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala" (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang), selanjutnya diberitakan "Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun" (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang tersebut, yaitu Jaya Perkosa (Sanghyang Hawu); Wiradijaya (Nangganan); Kondang Hapa; dan Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu: "Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya" (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lain), sehingga penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan Raja Sumedang Larang ke-9 mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandaga LanteKandaga Lante adalah semacam kepala yang satu tingkat lebih tinggi daripada cutak (camat) dan 18 umbul dengan cacah sebanyak ± 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Pemberian pusaka Pajajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang.
Jaya Perkosa adalah bekas senapati Pajajaran, sedangkan Batara Wiradijaya sesuai julukannya bekas Nangganan. Menurut Kropak 630, jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri, namun setingkat lebih rendah dari Mangkubumi.
Di samping itu, menurut tradisi hari pasaran Legi (Manis), merupakan saat baik untuk memulainya suatu upaya besar dan sangat penting. Peristiwa itu dianggap sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun sebagai "nyakrawartti" atau nalendra merupakan semacam proklamasi kebebasan Sumedang yang mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan CirebonArti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah pernyataan bahwa Sumedang Larang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di bumi Parahyangan.
Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh senapati Jaya Perkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun merupakan bukti legalisasi kebesaran Sumedang Larang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan DemakPajang, dan Mataram.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah baik yang tertulis maupun babad/cerita rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sejarah.
Serangan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad XVI ke Pajajaran, merupakan peristiwa yang membuat Kerajaan Pajajaran runtag (runtuh).
Berakhirnya Pajajaran pada waktu itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, sebagian rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang Larang kian berkembang.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber yang dijadikan pegangan dalam menentukan Hari Jadi Kabupaten Sumedang:
  • Pertama : Kitab Waruga Jagat, yang disusun Mas Ngabehi Perana tahun 1117 H. Kendati tak begitu lengkap isinya, namun sangat membantu dalam upaya mencari tanggal tepat untuk dijadikan pegangan/penentuan Hari Jadi Sumedang. "Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir," artinya: Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.
  • Kedua : Buku Rucatan Sejarah yang disusun Dr. R. Asikin Widjayakusumah yang menyertakan antara lain: "Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang sabada burak Pajajaran," artinya: Pangeran Geusan Ulun menjadi raja yang berdaulat di Sumedang Larang setelah Kerajaan Pajajaran berakhir.
  • Tiga : Dibuat Prof. Dr. Husein Djajadiningrat berjudul: Critise Beshuocing van de Sejarah Banten. Desertasi ini antara lain menyebutkan serangan tentara Islam ke Ibukota Pajajaran terjadi pada tahun 1579, tepatnya Ahad 1 Muharam tahun Alif.
Mengacu pada ketiga sumber di atas, maka dalam diskusi untuk menentukan Hari Jadi Sumedang yang dihadiri para sejarawan masing-masing Drs. Said Raksakusumah; Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita; Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, berhasil menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun Jim Akhir itu jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya 22 April 1578.
Atas dasar itu DPRD Daerah Tingkat II Sumedang waktu itu, dalam Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8 Oktober 1973, menetapkan tanggal 22 April 1578 sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang.

klik disini: Sumber